Soal Pajak, Google Harus Ikuti Aturan Indonesia

Foto: Soal Pajak, Google Harus Ikuti Aturan Indonesia



Begini penjelasan Dirjen Pajak soal kebijakannya yang harus diikuti Google.

Kanal247.com - Hingga saat ini, pemerintah belum menemukan angka besaran pajak yang harus dibayarkan oleh Google. Meskipun demikian, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan telah mendapatkan dokumen pajak Google yang telah diaudit.

Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan bahwa pihaknya telah melihat angka pembukuan Google. Dokumen pajak auditan Ernst & Young LLP terbitan 11 Februari 2016 tertulis bahwa PT Google Indonesia (PT GI) telah membayar pajak pada tahun 2015 sebesar Rp 5,2 miliar atau 25% dari penghasilan kena pajak (taxable income), Rp 20,88 miliar. Adapun pada tahun 2015, PT GI sendiri membukukan pendapatan sebesar Rp 187,5 miliar.

Pada dokumen pajak Google lainnya, Google Asia Pacific Pte. Ltd (GAP), total pendapatan sebesar USD 109,2 juta yang didapat dari klien Indonesia tahun 2015. Data 10 besar klien Indonesia berkontribusi sebesar 55% dari pendapatan atau sebesar USD 60 juta.

Menanggapi angka besaran dari Google, Ken masih belum bisa memastikan perhitungan pajak dari pihaknya. Namun, Ken menghimbau perusahaan tersebut untuk tidak melakukan perhitungan seenaknya. "Iya tapi mereka harus nurut juga terhadap peraturan pajak di Indonesia dong. Menghitung juga gak bisa seenaknya," tuturnya, Minggu.

Sebenarnya, pajak yang ditetapkan oleh pemerintah sebelumnya untuk Google mencapai Rp 450 miliar per tahun. Hal ini dengan asumsi margin keuntungan yang diperoleh Google antara Rp 1,6 triliun hingga 1,7 triliun per tahun. Margin tersebut diperoleh atas penghasilan sekitar Rp 5 triliun per tahun.

Yustinus Prastowo, Direktur Eksekutif lembaga Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengungkapkan, saat ini Ditjen pajak akan menarik GAP sebagai Badan Usaha Tetap (BUT) di Indonesia meski tidak menjalankan bisnis melalui PT GI. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan karena terhalang tax treaty antara Indonesia dan Singapura. Akibatnya, Indonesia tidak dapat menarik laba usaha yang menjadi hak Singapura.

Sebaliknya, Ken mengatakan bahwa hal itu bukan halangan. "Ada kok tarifnya (dalam treaty). Biasa namanya WP bilang gitu, bilang ngaco, itu sama aja di seluruh dunia begitu, karena gak ada yang rela bayar. Pajak di seluruh dunia dibilang ngaco," pungkasnya.

Komentar Anda

Rekomendasi Artikel